Di bulan yang tak sempat purnama begitu pula cintamu.
Maret pun akan
segera pergi meninggalkanmu, meski kenangan tak akan bisa ditelan tanah.
Kami sudah melewatinya di bumi. Bagaimana dengan engkau?
Ada kah seribu tahun sudah lalu, atau gelap sepimu tak kenal waktu?
Kemudian
aku berlari; Kaki, isi kepala dan roh.
Kau, dimana sepagi ini? Dan,
Kau: Di Bumi dikenang,
Dan Aku; Sisa tulang daging darahmu: tak
abadi.
Aku mencintaimu, mungkin ini alasannya.
Mengapa setiap tangisan harus kulepaskan tiap kali mengingatmu, atau kadang aku tahan sampai disini. di ujung kerongkonganku, sampai airmata mengeras membanting banting kepalaku.
Ya, aku merindukanmu.
Seandainya waktu bisa menggilas semuanya.
Tapi bagaimana mungkin,
Aku adalah sisa tulang, daging darahmu, juga suaramu.
Suaramu.
Kemudian lancang kuning kita sandarkan di negeri ini,
gurindam menghentak dan aksara muntah dari lautmu.
Seribu pantun berdusta.
Bulan membentuk malam dari kuas gelombang laut,
mimpi terkapar lelap dalam kepenasarannya.
angin berubah menjadi api,tanah menjadi darah.
Seperti Kata-kata yang mati dalam pengembaraannya.
seperti siang yang mengambang
dan pagi yang datang memaksa membuka kelopak-kelopak mimpi,
meramunya, kemudian menyajikannya pada yang tak terhingga butir keputusasaan.
Diakah pagi yang memberi pengharapan tak bertepi.
Matahari mengintip lalu menangisi awan yang tak memberi ruang
sepenggal doa menyebar ke penjuru langit,
Oleh yang terdahulu pergi aku menerima kutuk.
tak bertepi, tak bisa menepi
dikata-kata yang berani memaki illahi.
Sesampainya aku padaMu, yang tak bertepi.....
Musim ini sangat memungkinkan bagiku untuk merindumu
Bersama mekar daun cabai dan pokok jeruk yang menggigil
Pagi ini juga sangat memberi jalan bagiku untuk menggerayangi buah dadamu
Menguliti bibirmu dan menciumi perutmu.
Tuhan pasti bangga melihat karya agung ciptaanNya
Sang Adam yang sedang keranjingan dan tersesat di menara Hawa.
Ah! September,
Kau melucutiku, Cinta!
Apalah arti sebuah gerutu dari ujung pantat hingga perut?
Tentang pagi yang berganti ganti tentang negeri yang durhaka hati! O Mulajadi!
Diatara sekumpulan orang berseragam monyet dan monyet yang berseragam manusia.
O Mulajadi, Bakar dan binasakan saja presiden kami!
Demi langit dua belas matahari, demi pedang yang sudah dicabut! Hunuskan saja.
Congkel mata putuskan telinga! O, Mulajadi!
Dan pada akhirnya kita akan menangis bersama sama.
Bersama siang yang gerah dan tanah ini yang bukan lagi ciptaanMu.
Apalah arti sebuah tulang belulang dengan lilitan sejarah Tuhan?
Doa dogma melesat setelah bumi bergoncang sangat pelan pelan, Sang naga!
O Debata Mulajadi, Bagaimana mungkin tanah ini tak menghasilkan apa apa!
O Jesus kristus yang terlambat datang. Terbuat dari apa Bunda Maria?
Lantas aku menangis lagi sejadi jadi. Teriakku ditengah kerumunan hariaraMu.
Terbuat dari apa nabi nabi?
Terbuat dari apa?
*Hariara adalah: Sejenis pohon beringin besar yang biasanya tumbuh atau sengaja ditanam disekitaran makam-makam orang batak biasanya hanya untuk orang terpandang/ berpengaruh/ pengayom/ raja. Dalam kosmologi Batak Hariara dianggap sebagai Pohon Kehidupan atau pohon mistis yang berasal dari Banua Ginjang. Hariara, juga berfungsi sebagai pembatas antara satu kampung ke kampung lain.
Malam adalah sekumpulan serdadu yang meninggalkan kampung
Menyisir gelap mininggalkan kekasih
Bayang adalah bentukan malam dari lukisan cahaya obor
Adalah kaki, kepala dan tangan yang meliukliuk diantara cahaya
Dari jauh tampak ilalang yang tak pernah tertidur oleh dongeng sahabat
Meski bentukan bentang malam tak seindah pekat kepul asap dan luas imaji
Meski bumi tak punya niat untuk berdusta
Suaramu....
Dari kejauhan
Yang merambat dari lembar dedaun dan bising mesin penggiling padi
Dialah yang berkata jujur
Posted by
Bumi Kedua
22:34
Pada mulanya adalah nafsu dan seperangkat vibrator
Oh Tuhan Semesta langit dan bumi
Kau tahu tentang seperempat mimpi yang terpenggal itu?
Sudah seperempat, masih Kau penggal juga
Oh Tuhan raja dari segala desir angin yang membekukan gerimis
Yang membentuk bongkahan nafsu yang menyeduh racun untuk itu.
Kau!
Kau yang melindungiku dari serang sengat rindu
Kau juga yang menurunkan bendera dirapuhku
Rindu yang menyeruak hingga gertak retak di rambumu