Musim ini sangat memungkinkan bagiku untuk merindumu
Bersama mekar daun cabai dan pokok jeruk yang menggigil
Pagi ini juga sangat memberi jalan bagiku untuk menggerayangi buah dadamu
Menguliti bibirmu dan menciumi perutmu.
Tuhan pasti bangga melihat karya agung ciptaanNya
Sang Adam yang sedang keranjingan dan tersesat di menara Hawa.
Ah! September,
Kau melucutiku, Cinta!
Apalah arti sebuah gerutu dari ujung pantat hingga perut?
Tentang pagi yang berganti ganti tentang negeri yang durhaka hati! O Mulajadi!
Diatara sekumpulan orang berseragam monyet dan monyet yang berseragam manusia.
O Mulajadi, Bakar dan binasakan saja presiden kami!
Demi langit dua belas matahari, demi pedang yang sudah dicabut! Hunuskan saja.
Congkel mata putuskan telinga! O, Mulajadi!
Dan pada akhirnya kita akan menangis bersama sama.
Bersama siang yang gerah dan tanah ini yang bukan lagi ciptaanMu.
Apalah arti sebuah tulang belulang dengan lilitan sejarah Tuhan?
Doa dogma melesat setelah bumi bergoncang sangat pelan pelan, Sang naga!
O Debata Mulajadi, Bagaimana mungkin tanah ini tak menghasilkan apa apa!
O Jesus kristus yang terlambat datang. Terbuat dari apa Bunda Maria?
Lantas aku menangis lagi sejadi jadi. Teriakku ditengah kerumunan hariaraMu.
Terbuat dari apa nabi nabi?
Terbuat dari apa?
*Hariara adalah: Sejenis pohon beringin besar yang biasanya tumbuh atau sengaja ditanam disekitaran makam-makam orang batak biasanya hanya untuk orang terpandang/ berpengaruh/ pengayom/ raja. Dalam kosmologi Batak Hariara dianggap sebagai Pohon Kehidupan atau pohon mistis yang berasal dari Banua Ginjang. Hariara, juga berfungsi sebagai pembatas antara satu kampung ke kampung lain.
Malam adalah sekumpulan serdadu yang meninggalkan kampung
Menyisir gelap mininggalkan kekasih
Bayang adalah bentukan malam dari lukisan cahaya obor
Adalah kaki, kepala dan tangan yang meliukliuk diantara cahaya
Dari jauh tampak ilalang yang tak pernah tertidur oleh dongeng sahabat
Meski bentukan bentang malam tak seindah pekat kepul asap dan luas imaji
Meski bumi tak punya niat untuk berdusta
Suaramu....
Dari kejauhan
Yang merambat dari lembar dedaun dan bising mesin penggiling padi
Dialah yang berkata jujur
Posted by
Bumi Kedua
22:34
Pada mulanya adalah nafsu dan seperangkat vibrator
Oh Tuhan Semesta langit dan bumi
Kau tahu tentang seperempat mimpi yang terpenggal itu?
Sudah seperempat, masih Kau penggal juga
Oh Tuhan raja dari segala desir angin yang membekukan gerimis
Yang membentuk bongkahan nafsu yang menyeduh racun untuk itu.
Kau!
Kau yang melindungiku dari serang sengat rindu
Kau juga yang menurunkan bendera dirapuhku
Rindu yang menyeruak hingga gertak retak di rambumu
Sedemikiankah?
Seraya berkata aku dalam bulat malam dipagari sudut-sudut puisi
Sedemikiakah kau yang melirik sudut bola mata?
Meraba kata, mengelus dada
Jika memang harus mengikut arus, lantas kita berhenti dimana?
aku tak mau lah kau dibanting banting kesana kesini
Lalu kita mulai kebingungan kemudian berusaha saling menenangkan kemudian masuk selimut
Apa kau masih mau bertanya kemana kita akan pergi, jam berapa kita bangun, dan siapa yang harus mengantarnya kesekolah?
Atau soal buku resep masakan yang belum sempat ku beli, Lantas menenangkan hati dengan minum air putih saja?
Aku tak mau lah kau sesederhana itu
Aku sedang berlatih memanjat tebing dengan tali yg diikat di leher
Kalau aku jatuh, matilah aku tergantung di tebing itu
Kau tak perlu menangisiku
Di sana...
Ketempat dimana semesta rindu berkumpul
Ketempat dimana awannya selalu mendung
Ketempat dimana ada sepenggal sajak yang belum diberi judul
Suara desir anginnya menyimpan kenang
Airnya yang setia membasahi peluh tubuh
Dedaun yang dimandi gerimis
Bebatu yang kokohkan prasasti
Peran ini terus berganti ganti menapaki kerikil tak berhenti
kemudian kita lupa bagaimana bisa ke masa lalu karena waktu tak mau menunggu
Berbicaralah pada tanahnya tentang musim yang bergiliran mengikis kenang
Setiap mulut akan berkata jujur tentang bentangan ladang yang menghilang
Tentang kekasih dan kemarau
Aku melihat gerimis dari bawah kursi panjang
Aku melihat rintiknya menjatuhi
Aku menangkap lebih dari satu gerimis
Aku melihat ada yang mengalir dari bawah kursi panjang
Aku melihat yang mengalir lebih dari satu
Aku melihat ada gerimis yang jatuh dari atap rumah
Aku melihat gerimis jatuh dari atap rumah
Aku menangkap hujan.
Posted by
Bumi Kedua
03:42
Bumi memang semakin tua...
Tergambar dari sikapmu yang semakin buta
Seakan lelah kau berteriak wahai terik untuk negeri nan angkuh
Di senja ini kau hempas beban
Besok kita mulai lagi pertarungan
Pertarungan menyadarkan siapa tuhan siapa manusia
Siapa pencipta siapa pencetus
siapa yg berjuang siapa kawan
Dari Selongsong negeri.
Merah marun kolormu terjepit diselah jemuran kayu
Aku yang memandangi kayunya yang sama kusam dengan kolormu
Akrab kayu dan kolor, aku yang mengiri bersama bersama tali jemuran
Ada lalat yg coba menjilat-jilat. Tak bersih sabun batangan
Kayu jemuran tak karuan gatalan Tali jemuran mengikik geli
Kolor yang makan hati, Aku yang mengamati
Ada yg berlari diatas tali jemuran.
Menyelamatkan kolor yang terjepit tak beraturan..
Aku terheran..
Dia...
saudara kandung merah marun.
Yang ini, Ungu warnanya bertulis don't touch me !
Tali jemuran lagi-lagi mengiri. Aku lari, dia kemari.
Posted by
Bumi Kedua
19:20
Adalah taik yang mengeras tertumpuk dalam klosed kamar mandi rumah bertahun tak berpenghuni.
Respon otak seketika memasukkan leher baju menutup hidung
Temboknya coklat hitam retak pasir-pasir semen cor
Aku yang memandang taiknya lalu temboknya
Ada sepasang muda-mudi sedang mempraktekkan gaya anjing
Sisa kondom berisi sperma berserakan terkapar dimana-mana
Calon bayi yang gugur dalam karet plastik!
Antara taik, kondom, sepasang muda-mudi dan rumah tua
Bau kencing korban jengkol!
Disini..
Ada birahi yang masih menempel di tembok dan bau keringat anak SMP
Birahi yang mendominasi setiap sudut ruang dan mengalahkan takut hantu sang pemilik rumah yang mati gantung diri.
Dialah korban dari jerit puisi
Yang menciptakan dimensi suram kelam sipenghuni
Aku tak pernah kenal dengan yang namanya cinta. yang ini perlu kau garis bawahi
Birahilah yang menari-nari telanjang bugilkan puisi-puisi !
Adalah taik yang mengeras tertumpuk dalam klosed kamar mandi rumah bertahun tak berpenghuni.
Adalah burung yang menerbangkan sajakku menghinggap di dahan rindumu
Adalah cangkir yang telungkup di ujung rak buku sebagai sepinya aku
Yang beradu dilangit adalah makna. yang mengawang dialah jiwa
Yang tak berjudul adalah kau. kau yang langsung menumpah ruah kanvas warna warni.
Layar ini semakin bisu.
huruf-huruf dan angka-angka beterbangan memaki kontras peradaban.
Ada yang mencinta Tuhan melebih nyawanya.
Malam yang selalu menarik tangan cepat-cepat.
Masih doa yang sama dari hari selasa.
Sudah lah.
Damai saudara, damai bangsa. Minuman kita belum habis.
tuang lagi, didin pucat berbotol oplosan tergeliding geli.
Bismillah Allahu Akbar ! Halleluya Puji Tuhan.
Mantra dua kubu yang menjijikkan.
Aku yang dililit Khotbah saling bunuh.
Apakah Angin yang telah memperdaya surga Allah?
Aku hanya mencicip iri hari ini. Telinga yang berisi kecoa.
Kau yang mengirim dogma, aku yang menjulurkan jari-jari kecil.
iming-iming surga entah.
Posted by
Bumi Kedua
20:16
Andai aku waktu, Masihkah kau mengenaliku di sejengkal detik yang aku langkahi ke belakang ?
Masihkah kau mengenaliku bila gemintang dan bulannya aku saku?
masihkah kau mengenaliku jika ada orang ketiga dalam sajakku ?
Atau pedang yang kalah sebelum berperang, atau bantah dulu sebelum kata?
Masihkah kau menghafal tingkahku ?
Tak perlu aku ulang-ulang lagi, karena katamu lebih menyakitkan dari setengah mati.
Aku ingin mengembara kemasa lalu. aku rancang cerita biar tersesat.
tak ingin lah aku menikmat cinta, apalagi mengenalimu.
Aku yang sengaja menyesatkan diri. biarkan saja berita terbakar hingga ke kampung halaman.
Apakah kau masih peduli aku ?
Aku masih mengenalimu dari gerimis dan bau tanah.
Bulan yang ditikam gerimis abstrakkan malam patah-patah
Menjaring satu demi satu Sketsa imaji, kemudian Mencari sudut
Dia yang diramu malam memanjaku tuang demi tuang
Ada bulan yang tergantung dibibir cangkir kopi, menatapku seakan ingin berganti peran
Detiknya yang masih sama. aku yang menarik-narik tangan waktu
khawatirku mendaratkan doa penyeimbang rentang
Aku yang melantunkan bait sesegera, menatap mentari yang sedari menunggu mendung yang disapu
Kerikil yang masih dinginkan tanahnya
dedaun yang dimandi gerimis
pagi kau kecup harap di jemari.
Posted by
Bumi Kedua
10:00
Yang tergelinding berarakan mengalir, Kau puisi malam yang berdentum kejut-kejut.
menutup-nutup khawatir sembunyi-sembunyi.
Inilah negeri tuan yang kuncupnya mengakar lontar-lontar getar lapar.
Mulut-mulut dibalut takut yang semakin larut
Ada yang ditangkap malam dari jalan-jalan.
Ada yang memandu, bendera terkibar. Oo warna silau beradu-adu.
kau yang menaruh rindu pada bulan. bulan yang didandan.
Terlahir
menyusun langkah dan merencana pelangi
Duhai malam aku tulis ini
Sebagai saksi menghantar hari yang berganti-ganti
Terima kasih untuk yang setia menyapa maret
Ayah, ibu, Frans, Siska, Simon, Rosa
Aku mencintai kalian.
Kalau kopi sudah ku seduh, ketahuilah rindu telah lusuh menghantu
Menghantu merdu lagu
Manakala tak ada celah untuk bertemu raga, ketahuilah harapmu harga tak lelah
Jangan tanya lagi seberapa aku merindu.merindu yang juga milikmu
Laki laki ini mempelajarinya berkali-kali dan kini dan nanti, tak ada lagi janji mati
Dari mulai mentari yang kita nanti, hingga hujan yang kita pilih menjadi mimpi
Kau rindu laksana kata yang tak terbantah, Seperti dahaga belum lega
Tak habis kata tak lengkap memakna rasa
Kau lah rindu tertutup malam terbentang tak lengkap gemintang
Menyelami siang di tepian pijar andromeda berputar-putar tidak teratur.
Ada biduk terdampar diikat rantai berkarat dan burung-burung camar yang terlaparkan.
Aku juga ikut terdampar oh lunglai petang nan singkat.
Mengapa kau tinggalkan aku dan lebih memilih dia kacung.
Aku Tak bisa menunda gerak jemari.
Tak bisa diam kaki yang berlumut lengket tua.
singkatkan malam ini. Dan sekali lagi kau telah menulisiku sejarah.
Sejarah yang merelakan ikhlas.
Demi apapun.
Saat ini dan nanti aku yang akan terbiasa menepati ikrar.
berenang dalam-dalam suka hati, Meluncur kemasa lalu : Hei, Selamat tinggal.
Hidup ini pilihan. pilihan hitam di campur putih.
Membiarkan kuas menari menempelkan tinta hingga menepi.
mengikuti jari-jari ilham kesana kemari lalu berhenti.
berhenti.
Kopi ini, tak tahu datangnya dari mana. Tiba-tiba saja sudah ada dalam kemasan.
Sepertinya mereka tahu percis kopi yang enak itu seperti apa.
Tak perlu menambahkan apa-apa. kau cukup menyeduhnya dengan air panas.
Ketahuilah mereka sangat bersemangat.
Mereka berterimakasih karena kau baru saja melahirkan mereka.
Mereka hidup satu demi satu menyatu.
Terbentuklah kepala. Kepala yang berisi elemen pengendali gerak.
Terbentuklah tangan. Tangan yang tahu kapan dia harus memukul mundur.
Terbentuklah dada. Dada yang siap menerima seberapa keras peluru.
Terbentuklah kaki. Kaki yang kokoh berlari kencang dan menghindar.
Sebelum kau menjalankan tugas. Aku ingin bertanya beberapa hal. Apakah kau Robot Kopi?
Jika iya, Seberapa banyak gula yang mereka butuhkan untuk segelas kopi?
Aku ingin sepertimu teman. Sudikah tuanmu menerima aku masuk dalam timmu?
Kalau aku belum pantas untuk itu, Beri aku waktu beberapa menit.
Aku akan menawarkan banyak bahan untuk tuan.
Aku punya sekarung timah pahit, tembaga dan baja unggul.
Semua aku dapat saat aku masih kuliah dulu.
Jika aku boleh berbagi, ini bukan hal yang mudah untuk mendapatkannya.
2 tahun aku Berkelahi dengan Monster pemalas.
Aku juga pernah terjatuh dalam rentan waktu yang cukup lama.
Sampai pada akhirnya orang-orang menepuk pundakku.
Mereka mengucapkan selamat. “Kamu berhasil mengalahkannya”
Aku harus buru-buru.
Semoga nanti tuanmu bisa mempertimbangkannya.
Panggil aku jika aku dibutuhkan.
Aku tertarik dengan tugas ini.
Posted by
Bumi Kedua
17:34
Bumi setelah kau kutampar berkali-kali
Bumi setelah nafasmu satu-satu
Bumi setelah kau terjatuh tidak bangun-bangun
Bumi setelah kau malu keluar rumah
Bumi setelah kau terkunci rapat dalam lemari berisi tumpukan masa lalu
Akupun membuka mata, melipat selimut dan sesekali berdoa,
kalau-kalau semalam ada harapan untuk pagi ini.
masih seperti biasa, kopi yang ingin ku seduh pagi ini masih berwarna coklat sedikit putih.
lebih terasa manis.
Dialah semerbak rindu yang dibasuh dengan sari bunga kuning, ungu dan putih.
wanginya sampai ke bumi. aku selalu menciumnya jika ingin pulang.
Inilah bumi yang sama-sama kita bentuk dan aku namai dia bumi kedua.
Ini terlihat lebih bersahabat dibanding bumi yang pernah aku bentuk sendiri wujudnya.
tidak berbatu,kering dan penuh ranting rapuh yang menyisakan satu dua helai
daun kering. Hanya burung pemalas yang singgah dan bersarang di dahannya.
Semua tampak sederhana membentang dari sisi kanan ke kiri, dari atas
dan jatuh pelan ke pelupuk mata berseri. mengalir mengairi lapisan epidermis,
membiarkannya searah jatuh vertikal berbarengan hangat peluk menyapu punggung.
Bumi setelah banyak yang berpulangan. tidak sanggup dan pasrah.
Tapi akulah dermaga yang kau tunggu. melepas beban dari jauh-jauh hari.
aku siap memanggul sekeranjang cinta dan memulainya lagi bersamamu.
Bumi dimana hujan berlangsung lama seimbang dengan lama gerah dari tahun ke tahun masa itu.
dialah yang kemudian menyegarkan semua Makhluk yang terkena nikmatnya.
dia juga yang telah merubah tanah kering menjadi layak untuk dikerjakan.
membuahkan hasil dan menghasilkan buah. Buah yang harum yang disajikan rakyat
untuk sang raja dengan ikhlas tertunduk dan hormat.
Bumi yang baru saja terlahir sejak kau membaca tulisan ini.
Bumi yang tidak hanya dalam angan tapi sudah punya wujud. Di sebelah kiri kau dan kanannya aku.
bumi dimana semua manusia berpasang-pasangan. Berani dan siap.
Bumi yang kau buat sendiri. hujannya air mata, langitnya kau ukir dengan tinta takkan luntur.
tanahnya yang bersahabat dengan tangan petani. Udaranya yang merdu, keluar dari selah kerongkongan menyatukan kata demi kata menghasilkan bunyian beriringan dan kaya nada.
Tak lupa kau sediakan api. api yang tahu percis seberapa dingin malam itu.
Bumi yang lebih dari sekedar keseimbangan tapi keserasian, kecocokan, pas,
saat bubuk kopi menerima banyaknya gula.
ini semua semata-mata karena gula tahu bagaimana ia memanjakan kopi.
Keduanya bekerja sama mengulangi kebiasaan itu tiap kali tuannya ingin menyatu dengan rindu.
Inilah bumi kita.
Bumi yang sama-sama kita ukir.
Earth without tears, without injury, without surrender.